Otonomi
daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang,
dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk
meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka
pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom adalah
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Dalam
era otonomi daerah di Indonesia,
ada baiknya kita melihat kasus lokal yang berkaitan dengan informasi publik dan
transparansi. menurut narasumber, mengatur bahwa informasi tentang Ramperda
(Rancangan Peraturan Daerah), RAPBD, berbagai inisiatif DPRD, atau Standar
Penilaian Laporan Pertanggungjawaban Gubernur agar dibuatkan atau dimasukan kedalam
home page atau website Dewan NTB dan E-Government Pemda NTB, agar bisa
membantu masyarakat untuk berkomunikasi dan kemudian dampaknya mempercayai DPRD
dan Pemerintah Daerah-nya. Sosialisasi dan komunikasi politik lewat internet,
atau media yang lain, ini sangat perlu dilakukan khususnya oleh pihak eksekutif
dan legislatif di daerah untuk mengatasi disparitas dan kebelumjelasan
informasi selama.
Seorang aktifis LSM yakni “Somasi”
di NTB, misalnya mendefinisikan pengamatannya bahwa kepentingan publik di NTB,
sebenarnya menyangkut hak memperoleh informasi yang selama ini cenderung absurd
dan semu, sebagai berikut :
“..Semua maklum bahwa DPRD sebagai
wakil rakyat diharapkan mampu mengartikulasi dan mengagregasikan apa yang
sebenarnya menjadi kepentingan publik di NTB. Cuma untuk mendefinisikan
kepentingan masyarakat itu memang cukup sulit, karena setiap orang di NTB punya
kepentingan yang beragam. Kalau saya yang diminta mendefinisikannya, begini,
kita di NTB sangat memerlukan transparansi, kewajiban-kewajiban dan ruang
partisipasi ketika membangun NTB, dalam arti yang sebenarnya”.
Beliau
lebih lanjut menjelaskannya secara rinci bahwa, Pertama, masyarakat NTB sekarang ini sangat membutuhkan
transparansi untuk bisa berpartisipasi memajukan daerah. Selama ini tuntutan
itu tidak pernah diakui DPRD dan Pemda NTB. Pemerintahan umumnya masih sangat
tertutup dan hak masyarakat untuk memperoleh informasi masih sedikit dibuka
oleh eksekutif juga legislatif lokal. Kurangnya keterbukaan informasi itulah,
antara lain, yang wajib ditegakkan oleh Pemda dan DPRD. Kalau eksekutif dan
legislatif berprilaku baik, tidak ada kecurangan atau penyalahgunaan wewenang
yang dilakukan, mengapa harus takut melakukan transparansi. Jika elit bertindak
transparan maka kebaikannya dan mutu kerjanya pun akan diketahui oleh
masyarakat, malah dukungan publik dan kepercayaan akan bertambah kepada para
wakil rakyat dan pelaksana pemerintahan daerah.
Kedua, masyarakat memerlukan DPRD yang
bertanggungjawab kepada konstituennya. Kita tahu kalau bahwa eksekutif Pemda
selama ini bertanggung jawab ke DPRD, kemudian kita juga bertanya, lalu DPRD
kemudian bertanggung jawab kepada siapa? Sampai sekarang secara praktis tidak
ada pertanggungjawaban dari DPRD kepada konstituennya.
Ketiga, masyarakat memerlukan agar
pemerintah melibatkan mereka untuk berpartisipasi dalam proses kebijakan dan
pembangunan di NTB, jangan bertindak sepihak saja. Mereka yang di maksud
masyarakat adalah para pemilih pada saat Pemilu, pihak RT & RW dan juga
termasuk antara lain organisasi swadaya masyarakat (LSM).
Untuk pemulihan awal pasca kerusuhan di NTB, beliau
menyarankan perlu dibuat Perda Hak Masyarakat Untuk Memperoleh Informasi.
Informasi itu sangat penting agar semua pihak bisa mengetahui penyelenggaraan
pemerintahan ini dilakukan, berapa rencana alokasi APBD mau diperioritaskan
untuk sektor apa. Itu sebenarnya hak masyarakat yang selama ini telah membayar
pajak, tanpa bisa mengelak atau menolak. Sebagai aktifis LSM dan seorang yang
belajar ilmu hukum, ia menginginkan adanya Perda Kewajiban-kewajiban
Pemerintahan Daerah di NTB. Sekarang ini secara internal memang sudah ada
Keppres No. 7 th.2001 dan pedoman Lembaga Administrasi Negara tentang kewajiban-kewajiban,
tetapi ruang lingkupnya menjadi sebatas ‘niat baik’ di lingkungan internal
Pemda, dampak penegakkan pelaksanaanya ke masyarakat menjadi sangat sulit
diharapkan.
Masyarakat dirugikan oleh pemegang informasi publik, karena
ketiadaan atau ketidakjelasan informasi yang diberikan. Padahal, hak masyarakat
mendapatkan informasi yang berhubungan dengan kepentingan publik tidak boleh
dihambat atau diabaikan begitu saja karena mereka pemagang mandat sah.
UU ini perlu mengatur informasi mana yang bebas untuk dapat
diakses oleh masyarakat serta informasi mana yang dapat dikecualikan secara
ketat. Informasi yang bila dibuka bisa menghambat proses penegakan hukum, bisa
mengganggu hak atas kekayaan intelektual, perlindungan dari persaingan usaha
tidak sehat, dapat merugikan strategi pertahanan dan keamanan nasional, bisa
mengancam keselamatan perorangan boleh saja tidak dibuka kepada publik. Untuk
itu perlu pembahasan RUU Rahasia Negara, sampai kapan suatu hal menjadi rahasia
dan kapan wajib dibuka untuk publik. Dengan demikian, ada batasan yang tegas
tentang rahasia negara dan informasi publik.Tetapi, informasi publik semestinya
terbuka.
Beberapa kasus yang merugikan masyarakat terjadi akibat
tidak adanya jaminan ketersediaan dan konsistensi atas informasi publik.
Misalnya, kasus kenaikan tarif dasar listrik yang tertutup sehingga kenaikan
yang sebenarnya dengan kenaikan yang diumumkan berbeda. Ini jelas merugikan dan
memperdayakan masyarakat. Ketidakpastian biaya juga dialami oleh anggota
masyarakat yang mengurus SIM/STNK/BPKB, mengurus IMB, Akte Tanah, Pasport,
skema kompensasi akibat kenaikan bahan bakar minyak (BBM), kerahasiaan bank
yang melindungi kejahatan hasil korupsi dan pencucian uang ‘panas’.
Masyarakat berhak tahu rancangan dan ketetapan APBN, APBD
beserta alokasi dan pihak yang mengelolanya secara rinci lewat pelaporan di
salah satu situs resmi di internet yang bisa diakses publik 24 jam. Begitu juga
kriteria dan tolok ukur apa yang dipakai untuk menerima atau menolak suatu
Laporan Pertanggung Jawaban seorang kepala daerah/kepala pemerintahan.
0 komentar:
Posting Komentar